BAB
I
PENDAHULUAN
Kehidupan secara
lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya.
Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau
diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang
mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau
polis, dan melalui agama (Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat: “Renesans”)
Dalam paper kerja ini
kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu
manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat budaya
sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau dibatasi
pada kerangka berpikir pembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia
yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam
arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam
perspektif filsafat budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif
seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom
di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan
manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara lain:
(1) pengetahuan
manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya;
(2) manusia dalam hubungannya
dengan hidup komunitas; dan
(3) agama membantu
manusia hidup dengan lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengetahuan menjadi
unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik. Dengan
pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa
yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara
lebih masuk akal. (Bdk., J. J. Montolalu, Filsafat Ilmu, Catatan kuliah
Mahasiswa Semester IV-VIII PS Filsafat dan PS Teologi).
Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya
menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok
megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat
oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang
diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya
secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia
yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan
tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang
dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat
dan lebih mudah.
Manusia ternyata
tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan dan
membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu sebagai
makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan
mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana
dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan
orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan
polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang
turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara
yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang
menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup
secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama
mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik
bagi penganutnya.
Ketiga unsur
pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan
secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan
dunianya
Telah dikatakan
sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan salah satu
unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara
lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai
pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan
akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini
adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup.
Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu
yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan
kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat
mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya
terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang
tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu
apa-apa. (Louis Leahy, Manusia, Sebuah
Misteri, Jakarta: Gramedia, 1993)
Pengetahuan menjadikan
manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk
manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan
manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena
dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus
inderawi dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila
pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara,
pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan
kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau
yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia.
Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih
tinggi.(Ibid)
Lalu bagaimana
pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk
manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti
mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara,
manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada
atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia
itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia
dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu
relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan
dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan
dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui
dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini
tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya
untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang. (Lih., Dr. J. J.
Montolalu, Filsafat Budaya, Catatan Kuliah Mahasiswa Semester VI PS Filsafat, Pineleng:
STF-SP, 2007)
Jadi, melalui
pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan orang lain.
Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang dikenal, dan
bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa
berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan
pengetahuan manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang
rusak menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui
pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya,
sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat beradaptasi
dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas
dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang
bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan
umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan
keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat:
“komunitas”).
Jadi, secara tidak
langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana
terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna
mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada
nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan,
keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan
bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau
bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak
pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia
dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui
nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap
individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh
pegangan dalam diri setiap individu.
Dalam hubungan dengan
pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka pertanyaan yang patut
dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat membentuk manusia untuk
hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan
di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat membentuk hidup
manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk
sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau orang
lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan orang
lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu persekutuan
yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai
yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk
hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih baik itu dicapai lewat
interaksi atau kerja sama setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya, setelah
mencapai nilai yang diinginkan itu
(membentuk hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu
(anggota komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi
pegangan dalam dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui
kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat
nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk
manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup
lebih baik
Arti budaya telah
diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu budaya
dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan
yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih
sempurna dalam dunia yang adalah dunianya (Lih., Dr. J. J. Montolalu, Filsafat
Budaya, Catatan Kuliah Mahasiswa Semester VI PS Filsafat, Pineleng: STF-SP,
2007)
Dalam konteks ini,
agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur
integral dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik,
hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama
terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai
kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah
pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui
ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat
dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa agama menjadi
sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat hidup dengan
lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat hidup
lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai
realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang sempurna
dalam macrocosmos. (Bdk J.J. Montolalu, Filsafat Budaya, catatan kuliah untuk
mahasisiwa VI-VIII)
Setiap agama umumnya
mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup sebagai orang
yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi. Dengan
demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Agama
membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan menanamkan
nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat budaya
sebagai ilmu tentang kehidupan manusia dapat dimengerti secara lebih sempit
dengan ide pembentukan manusia yang lebih baik. Dalam konteks atau kerangka
pemikiran itu kelompok berusaha menjelaskan dengan mengungkapkan tiga unsur
yang membentuk manusia menjadi lebih baik. Ketiga unsur tersebut antara lain:
(1) pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, (2) relasi manusia dalam
kehidupan polis atau hidup sosial, dan (3) agama yang mengandung dan
mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia
menjadi lebih baik.
Untuk unsur pertama
dan kedua merupakan karakter konstitutif dari arti budaya untuk orang Yunani,
yaitu penelitian dan realisasi yang manusia lakukan tentang dirinya sendiri,
yakni tentang kodrat manusia yang benar. Pengetahuan manusia tentang dirinya
dan dunianya sangat erat hubungannya dengan filsafat. Manusia tidak dapat
mewujudkan diri tanpa melalui pengetahuan akan diri sendiri dan akan dunianya.
Sementara relasi manusia dalam kehidupan sosial atau kehidupan polis sangat
erat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat mewujudkan
diri tanpa kehidupan dalam komunitas atau kehidupan polis.
Dan unsur ketiga
dijelaskan dalam hubungan dengan diangkat kembali pengertian budaya sebagai
pembentukan manusia dalam dunianya yang memperkenankan manusia hidup atas cara
yang lebih baik (lebih bijaksana dan kritis) dalam dunianya. Pengertian ini
diangkat kembali oleh renesans. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari
budaya dalam konteks ini. Karena agama mengandung mengajarkan hal-hal yang
berkaitan dengan moralitas, yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia
menjadi lebih baik.
B.
Saran
Demikian yang dapat
kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para
pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan –
kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2002).
Bakker, J. W. M., Filsafat
Kebudayaan (sebuah pengantar), cet. ke-12 (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Montolalu, John, Filsafat Budaya
(Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Montolalu, John, Filsafat Ilmu
(Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Sumartana, Th., Ecce Homo, (Jakarta:
Aurora, 1994)
Magnis-Suseno, Franz, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar