Selasa, 22 Oktober 2013

Tanah Air Beta

Indonesia sudah melepaskan Timor-Timur hampir 11 tahun lalu. Tapi akibat perpecahan ini dampaknya masih terasa, terutama bagi saudara-saudara kita yang telah memilih untuk menjadi warga negara Indonesia. Mereka yang terpaksa hengkang dari tanah kelahirannya, berpisah dengan keluarga, sanak, dan saudara. Mirisnya hingga sekarang mereka masih harus tinggal di kamp pengungsi yang sangat jauh dari layak sebagai tempat tinggal.
"Saya su 11 tahun tinggal di pengungsian, karena tak punya uang untuk beli tanah di tempat lain," tutur Olandina Da Silva Xiemenes, seorang pengungsi di kamp Tuapukan, Kupang, NusaTenggara Timur.

Olandina dengan ratusan kepala keluarga lainnya masih bertahan di Kamp milik pemerintah. Mereka tak bisa beranjak dari tempat tinggal sempit yang berdinding rangkaian ranting, beratap rumbia, dan berlantai tanah itu karena memang tak memiliki pilihan. Jangankan untuk membeli tanah di tempat lain, untuk makan sehari-hari saja sangat susah.

Host Andy F. Noya berkesempatan mengunjungi kamp Tuapukan, ia berinteraksi langsung dengan sejumlah warga pengungsi di sana. Satu hal yang membanggakan adalah meski mereka hidup sengsara, mengaku senang karena telah memilih jadi warga negara Indonesia. "Saya sebagai masyarakat tidak menyesal, karena saya sudah terlanjur cinta merah putih," kata Paulus, seorang pengungsi. Hal yang sama disampaikan juga beberapa warga, termasuk Olandina.

Di Kick Andy, Olandina membeberkan pengalaman kelamnya saat pasca jajak pendapat di Timtim tahun 1999 lalu. Di masa itu, ia harus rela menerima kematian suaminya yang seorang anggota TNI, dengan cara mengenaskan. Sang suami dibunuh dengan cara yang keji, dalam sebuah pertikaian antar masyarakat yang pro integrasi dan pro kemerdekaan. Belum pulih rasa dukanya, ia pun harus rela meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi mengungsi karena kondisi yang tidak aman di Timtim saat itu. Olandina mengungsi. Bersama dua anaknya. Sementara tiga anak lainnya masih di Dili, dan tak memungkinkan untuk dibawa serta. Beberapa tahun lalu, olandina minta bantuan palang merah untuk membantu mencari keberadaan anak-anaknya, dan ternyata mereka masih ada di Dili. "Saya tidak bisa menemui mereka hingga sekarang, karena saya tak bisa masuk Timtim. Saya memiliki tanda merah, karena saya keluarga tentara," ujar Olandina lirih.

Sebelas tahun berlalu dan Olandina bertahan untuk meneruskan hidupnya sebagai warga negara Indonesia, meski harus tinggal di rumah teramat sederhana di kamp pengungsian Tuapukan, hingga sekarang. Bantuan pemerintah kini sudah tak ada lagi, dan ia harus banting tulang jadi buruh tani di lahan penduduk setempat. Pensiunan suaminya sebesar Rp400 ribu sangat jauh dari mencukupi.

Sementara itu, Hamida Tilaar, seorang pengungsi yang kini tinggal di wilayah Oebelo Kupang, mengisahkan kehidupannya yang sedih sebagai pengungsi. Saat huru-hara terjadi, ia diminta suaminya untuk segera menyelamatkan tiga anaknya dan mengungsi. Sang suami berjanji untuk menemui mereka di Kupang.

Hamidah yang terlahir dengan nama Merry Da Consecou ini pun pergi membawa anak-anaknya. Proses pengungsian di tengah chaos itu baginya adalah pengalaman mengerikan. Kapal yang mengangkut ribuan manusia itu teramat padat oleh orang-orang yang hanya membawa kesedihan dan meninggalkan banyak harta serta keluarga di Timtim. Banyak orang mengalami kelaparan. "Sampai Kupang saya depresi, karena di saku saya hanya bawa uang 7000 rupiah. Akhirnya setiap orang yang saya temui, saya tabokin," kata Hamida mengenang pengalaman buruknya.

Hamida membesarkan anak-anaknya sendirian. Berbagai upaya ia lakukan agar bisa menghidupi ketiga anaknya, dari mulai berjualan es hingga jadi buruh tani. Sang suami yang berjanji akan menemuinya di Kupang, hingga kini lenyap bak ditelan bumi.

Kisah nyata kehidupan Hamida, kemudian menjadi bagian dari kisah sebuah film bertajuk "Tanah Air Beta". Adalah Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen yang kemudian memproduksi film tersebut memakai seting kejadian Timtim di tahun 1999 ini. "Kami ingin mengingatkan bahwa pasca referendum, masih banyak saudara-saudara kita yang terpisah dari keluarganya," ujar Ari Sihasale atau Ale ini.

Film yang mengambil lokasi di pengungsian Attambua ini, bercerita tentang seorang perempuan yang terpisah dengan anak dan suaminya. Ale dan Nia mengaku, proses pembuatan film ini mendapat banyak hambatan, terutama soal kecurigaan para pengungsi atas kedatangan crew film. Tapi akhirnya film yang memakai figuran ribuan warga pengungsi ini bisa terselesaikan juga.

Dibalik kisah pembuatan film itu, Ale menjelaskan tentang seorang anak yang bernama Fransisco atau biasa dipanggil Sico. Anak yang hidup sebatang kara di Kamp pengungsi ini kemudian diajak serta menjadi tim bagian artistik mereka. Bahkan rumah yang dibangun untuk kepentingan film itu akhirnya diberikan pada Sico sekarang. Selepas film ini Sico yang usianya akan menginjak 17 tahun ini, kembali menjadi anak pengungsi yang tumbuh di tengah lingkungan keras pengungsian dan tak punya lagi keinginan untuk bersekolah.

Sosiolog dan pemerhati masalah pengungsi, DR Yanuarius Koli Bau yang hadir di Kick Andy, mengatakan bahwa banyak sekali generasi-generasi muda yang kehilangan masa depan akibat tragedi pasca referendum ini. DR Yan juga menyatakan masih banyak permasalah yang terjadi diantara ribuan pengungsi Timtim di berbagai kamp pengungsian saat ini.

Episode Kick Andy kali ini, akan mengajak kita untuk kembali menengok keberadaan mereka, saudara-saudara sebangsa kita yang mulai terlupakan. Mereka yang sudah meninggalkan tanah kelahiran, harta benda, dan keluarga, demi kebanggaannya kepada merah putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar